Thursday, January 30, 2014

Mengenal Asal Usul Para Habib di Nusantara
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.
Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.
Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.
Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.
Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–> Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :
Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.
Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir.<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–> Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–>
Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.
Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.<!–[if !supportFootnotes]–>[5]<!–[endif]–>
Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.
Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-MusajjarKetiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.
Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib.Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.
Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.<!–[if !supportFootnotes]–>[6]<!–[endif]–>
Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :
‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka’.<!–[if !supportFootnotes]–>[7]<!–[endif]–>
Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan :‘Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.<!–[if !supportFootnotes]–>[8]<!–[endif]–>
Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo<!–[if !supportFootnotes]–>[9]<!–[endif]–>. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.
Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab<!–[if !supportFootnotes]–>[10]<!–[endif]–> telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.
Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.
Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.




Mari mengenali Ulama' sheikh Daud Abdullah al-Fathani

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Ana sertakan beberapa koleksi tulisan mengenai Sheikh Daud Abdullah al-Fathani. Ada beberapa perkara yang berlaku dalam seminggu dua ini menyebabkan hamba tercari-cari maklumat dan berita mengenai beliau. Kebetulan dalam diri ana memang mengalir antaranya darah Melayu Patani. Al-Fatihah untuk Almarhum Sheikh Daud Abdullah al-Fathani.


RIWAYAT HIDUP:
· Nama sebenar beliau ialah syeikh Wan Daud bin Wan Abdullah bin Syeikh Wan Idris al-Fatani.
· Dilahirkan di kerisik, fatani pada 1187H, bersamaan 1769M.
· Beliau meninggal dunia pada tahun 1265H atau 1791M.
· Keuarga beliau berasal dari kalangan keluarga ulama’.

SIFAT PERIBADI:
· Sanggup merantau keluar Negeri, demi menuntut ilmu.
· Bijak dan pintar dalam menguasai pelbagai bidang ilmu terutamanya ilmu agama.
· Mempunyai bakat kepimpinan yang membolehkan beliau dilantik sebagai syeikh bagi haji jamaah haji dari alam melayu.

PENDIDIKAN:-
· Mendapat pendidikan awal di sebuah pondok Patani dan di Acheh dalam bidang ilmu agama seperti tafsir, feqah, usuluddin, dan tasauf.
· Belajar di mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun.
· Antara guru beliau ialah syeikh Muhammad Zin Acheh, dan syeikh Muhammad salih bin abdul Rahman al-Fatani yang mengajar di Masjidil Haram.
· Beliau mempelajari tariqah al-syatiriyyah daripada syeikh Ali bin Ishak al-fatani, dan tariqah al-samaniyyah daripada syiekh Muhammad bin abdul karim saman al-madani.

SUMBANGAN SYEIKH DAUD FATANI DALAM PERBAGAI BIDANG ILMU
Beliau banyak menghasilkan buku iaitu sebanyak 58 buah dalam pelbagai bidang ilmu. Antara kitab karangan beliau ialah.
· Feqah : furu’ al-masail, munyyat al-musolli
· Tasauf : minhaj al-Abidin, bidayah al-Hidayah.
· Usuluddin : al-durr al-tahmin, dhia’ al-murid.
· Sejarah : tarikh al-Fatani.

PERANAN SYEIKH DAUD AL-FATANI DALAM PENYEBARAN ILMU
· Penulisan : banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk kitab dan risalah.
· Penterjemahan : menterjemah kitab-kitab dalam pelbagai bidang.
· Pengajaran : dilantik sebagai pengajar di Masjidil Haram. Mekah dan melahirkan tokoh-tokoh berwibawa.

PENDEKATAN SYEIKH DAUD FATANI DALAM PENULISAN
1. Dalam penulisan feqah, beliau banyak mengemukakan pendapat ulama’ mazhab Syafie dan sangat sedikit mengemukakan pandangan dari mazhab lain.
2. Beliau juga tidak banyak mengemukakan persoalan khilafiah, yang boleh menggelirukan masyarakat.
3. Dalam penulisan usuluddin beliau mengemukakan pandangan-pandangan ulama’ ahli Sunnah wal Jamaah.

PENGARUH SHEIKH DAUD FATANI DI NUSANTARA
1. Karya-karya beliau menjadi rujukan pada masyarakat dan diajar di masjid-masjid dan surau.
2. Karya-karya dan pemikiran beliau menjadi bahan penyelidikan di universiti tempatan dan luar Negara.
3. Pemikiran beliau tersebar melalui anak murid beliau sehingga hari ini.
4. Berjuang membebaskan Patani Darul Salam daripada penjajahan siam.
SANJUNGAN CENDIKIAWAN TERHADAP SYEIKH DAUD FATANI
1. Kerajaan Khilafah Uthmanniyyah telah memberikan gelaran al-‘Alim al-‘Allamah al-fahhamah al-‘Arif al-Rabbani kerana ketokohan dan keilmuan beliau.
2. Diberikan pengiktirafan menjadi sheikh haji melayu yang pertama dan diberikan pentauliahan mengajar di Masjid al-Haram.
3. Dato’ Abdul Rahim Abu Bakar. Pengerusi pengelola Dewan Bahasa Dan pustaka menganggap Syeikh Daud Fatani sebagai pemikir dan ulama’ yang menghasilkan karya sebaris dengan Hamzah samsuri, Nuruddin al-Raniri abdul Samad al-Palambani dan Muhammad Al-arsyad al-Banjari.

NAMA penuh beliau ialah al-Alim Allamah al-Arif ar-Rabbani Syeikh Wan Daud bin Syeikh Wan Abdullah bin Syeikh Wan Idris (juga dikatakan Wan Senik) al-Fatani. Ibunya bernama Wan Fathimah anak Wan Salamah bin Tok Banda Wan Su bin Tok Kaya Rakna Diraja bin Andi (Faqih) Ali Datok Maharajalela bin Mustafa Datu Jambu (Sultan Abdul Hamid Syah) bin Sultan Muzaffar Waliullah bin Sultan Abu Abdullah Umdatuddin.

Beliau yang lebih dikenali dengan panggilan Tok Syeikh Daud Patani ini mempunyai lima beradik iaitu Syeikh Wan Abdul Qadir, Syeikh Wan Abdul Rasyid, Syeikh Wan Idris dan seorang adik perempuan namanya Siti Khadijah bin Abdullah al-Fathani.

Syeikh Daud al-Fathani adalah keturunan Faqih Ali. Rujukan asal yang mengatakan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani berketurunan Faqih Ali diperolehi tulisan Nik Mahmud Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan iaitu: “Syahdan dan pada suatu masa bulan sedang mengambang di tepi langit, tersebutlah cerita anak raja Bugis lari daripada saudaranya menumpang sebuah bahtera sampai ke Johor dan tumpang duduk berkirim diri rumah Laksamana Kota Tinggi, dipanggil Andik Ali.

“Tatkala Laksamana memandang kepadanya berasalah kasihan belas dan dipeliharanya sebagai anak angkatnya sendiri. Tidak berapa tahun kemudian diperjodohkan dengan anaknya Wan Tija. Tidak berapa lama selepas itu Andik Ali serta dengan isterinya pun beredar ke Patani menumpang di rumah Mekong Damit Kampung Bira pada tahun 1049 H.

“Maka kerana lemah lembut tingkah lakunya dan berpelajaran orang di Patani memanggilnya Faqih Ali. Di situ ia beristeri kepada Ce' Dewi anak Sri Biji Diraja. Baginda sampai di Patani kira-kira tahun 1637 M”.

Berbalik kepada Syeikh Daud al-Fathani, beliau dilahirkan di Kampung Parit Marhum, Kerisek, Patani. Kota Kerisek ini terkenal dalam sejarah kerana di sinilah Maulana Malik Ibrahim iaitu salah seorang Wali Songo pernah tinggal dan mengajar, sebelum berpindah ke Jawa Timur.
Tahun kelahirannya tidak dapat dipastikan kerana terdapat perselisihan pendapat di kalangan penyelidik mengenainya. Dalam catatan-catatan beberapa keluarga penulis yang ada hubungan dengan beliau, ada yang mencatat tahun 1133 H, 1153 H dan tahun 1183 H.

Sheikh Daud dan ilmu pengetahuan
Ayah Sheikh Daud iaitu Sheikh Wan Abdullah dan datuknya Sheikh Wan Idris adalah ulama besar untuk zamannya. Sejak kecil Sheikh Daud al-Fathani ditanam dan dididik dengan ajaran Islam oleh datuk dan ayahnya.

Tambahan pula menjadi tradisi zaman itu di Patani sentiasa diperkenalkan Islam sejak kanak-kanak lagi. Anak-anak yang berumur lima atau enam tahun dipaksa supaya menghafal pengetahuan mengenal Allah (ilmu tauhid), dan seterusnya diberi pelajaran nahwu dan sharaf juga secara menghafal. Syeikh Daud al-Fathani telah melalui kesemua sistem pendidikan tradisional yang ada di Patani pada ketika itu.

Pada peringkat awalnya Syeikh Daud berguru dengan kaum keluarganya sendiri yang memang terkenal alim. Seorang daripada mereka ialah bapa saudaranya, Sheikh Shafiyuddin.

Ada yang berpendapat bahawa Sheikh Daud al-Fathani menerima pelajaran asasnya di Patani selama lima tahun, kemudian ke Aceh belajar dengan Sheikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi selama dua tahun. Sheikh Muhammad Zain al-Asyi adalah seorang ulama terkemuka di Kesultanan Aceh.

Namun yang dapat dipercayai bahawa Sheikh Daud al-Fathani dan kawan-kawannya telah belajar di Mekah selama 30 tahun dan lima tahun di Madinah. Disebabkan masa belajar yang lama itu beliau digelar al-Alim Allamah al-Arif ar-Rabbani.

Setelah demikian lama beliau menuntut ilmu pengetahuan, maka beliau pulang ke Patani untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di negeri tumpah darah sendiri. Namun timbul krisis peperangan antara Patani dengan Siam pada ketika itu. Diriwayatkan bahawa beliau melibatkan diri dalam peperangan itu, terjun secara langsung di gelanggang jihad fi sabilillah.

Apabila terjadi peperangan tersebut, akhirnya beliau kembali ke Mekah bersama-sama beberapa pelarian politik. Sampai di Mekah, beliau dilantik menjadi Ketua Sheikh Haji dan beliau adalah orang pertama dilantik secara langsung sebagai ketua. Beliau juga melibatkan diri dengan penulisan yang merupakan hobi beliau, di samping mengajar di Masjidil Haram. Karangannya dalam dua bahasa iaitu bahasa Melayu dan bahasa Arab.

Karangan beliau dalam bahasa Arab tidak banyak tersebar di Asia Tenggara. Adapun dengan bahasa Melayu tersebar secara meluas, walaupun di zamannya masih merupakan kitab tulisan tangan sahaja kerana belum ada yang bercetak.

Dalam beberapa karyanya, beliau mengupas masalah-masalah keilmuan. Antara lain tulisan beliau: Maka lazimkan olehmu hai saudaraku dengan menuntut ilmu yang fardu ain yang wajib atasmu. Belajar akan dia pada syarak supaya engkau dapat sahkan iktikad kamu dan ibadat kamu. Dan supaya sejahtera daripada seksanya. Dan supaya engkau akan dapat pahala, keredaan dan kasihnya”.

Pada mukadimah karyanya Bughyatuth Thullab, beliau menulis, ertinya “Dan adapun kemudian daripada itu maka bahawasanya beberapa nafas yang cerdik-cerdik yang menuntut bagi beberapa martabat yang tinggi-tinggi sentiasa perangainya itu di dalam menghasilkan beberapa ilmu syarak.

Beliau juga membuat penafsiran dalam beberapa hadis. Antaranya hadis berikut, “Sedikit Fiqhi itu lebih baik daripada banyak ibadat” yang ertinya: “Barang siapa belajar ilmu dan tiada berkehendak dengan dia akan wajah Allah s.w.t., tiada kerana-Nya melainkan supaya mengena dengan dia akan kehendaknya daripada dunia tiada akan bilik syurga yang ke atas pada hari kiamat”.

Beliau mengulas tentang hadis-hadis tersebut dalam Bughyatuth Thullab seperti berikut: “Maka dapat difahami hadis ini, tiada dipuji daripada kelebihan ilmu itu melainkan jikalau ada qasadnya dan tuntutnya itu berkehendak dengan dia akan wajah Allah s.w.t. dan berkehendak ia mengeluarkan dirinya daripada kelam kabut jahilnya kepada Nur ilmu.

“Maka jika ada qasadnya akan dunia seperti harta atau kebesaran atau gelaran atau kemegahan atau masyhur atau melengkapi muka manusia kepadanya dan lainnya maka iaitu dicela seperti barang yang tersebut pada hadis itu”.

Menurut beliau lagi: “Maka tatkala adalah kelebihan ilmu demikian itu maka sebenarnya bahawa tiap-tiap orang yang kasih bagi dirinya kebajikan maka hendaklah ia ijtihad atas qadar kuasa pada menghasilkan dia, kadang-kadang mengaji, kadang-kadang mengajar, kadang-kadang menunjukkan orang yang jahil satu bab daripada masalah memberi manfaat pada agama istimewa pula jikalau lebih lagi”.

Daripada kalimat-kalimat beliau itu dapatlah kita fahami bahawa seseorang Islam yang bertanggungjawab adalah terlebih dahulu memberikan pendidikan agama Islam kepada anak-anaknya. Ini adalah merupakan kewajipan agama Islam.

Adapun pendapat Sheikh Daud al-Fathani bahkan ulama-ulama di zaman lampau lebih terikat dan menitikberatkan pendidikan Islam berbanding pendidikan lainnya. Menurut Islam, yang utama dipelajari ialah belajar akan memberi faham dua kalimah syahadat, wajib taharah (bersuci), solat, puasa, hukum zakat, hukum berjual-beli menurut Islam dan lain-lainnya, semuanya telah diatur dalam fikah Islam.

Sheikh Daud al-Fathani dalam Bughyatuth Thullab berkata: “Selagi seseorang masih tidak mengerti akan seluk belok tentang keIslaman, maka seseorang itu tetap masih jahil, walau pengetahuan lain masih dikuasai demikian rupa”.

Kewafatan
Sheikh Daud al-Fathani wafat dan dimakamkan di Taif. Kuburnya bersampingan dengan kubur Saidina Abdullah bin Abbas iaitu sepupu Rasulullah s.a.w.. Tahun kewafatannya juga belum diketahui dengan pasti. Tetapi ada yang berpendapat beliau wafat sekitar tahun 1847 M, juga ada yang menyebut tahun 1265 H.

Menurut cerita ibu penulis Hajah Wan Zainab binti Syeikh Ahmad al-Fathani, beliau mendengar daripada ibunya, Hajah Wan Siti Saudah binti Abdullah bahawa jenazah beliau telah dipindahkan oleh Sheikh Nik Mat Kecik al-Fathani ke Mekah, ditanam di bawah pohon Bedara di rumahnya.

Hal ini disebabkan pada zaman itu pihak Wahabi akan membongkar semua kubur yang dikeramatkan termasuk kubur Sheikh Daud al-Fathani.

Bagi penulis, walaupun beliau telah lama meninggal dunia namun jenazahnya tidak hancur, darah masih berjalan kecuali nafas sahaja yang tiada.


Salasilah keilmuan Syeikh Daud al-Fathani
SETELAH selesai membicarakan salasilah Sheikh Daud al-Fathani mengenai asal-usul keturunannya, pendidikannya dan kewafatannya, maka penulis bicarakan pula tentang guru-guru dan murid-muridnya. Sheikh Daud al-Fathani belajar daripada ramai guru-guru dalam pelbagai bidang. Beliau juga menurunkan ramai murid-murid yang menjadi ulama dan tokoh terkenal di Alam Melayu.

Guru-gurunya
Dipercayai bahawa Sheikh Daud al-Fathani mendapat pendidikan dasar keislaman dimulai dari lingkungan keluarga sendiri. Ayah dan datuknya adalah ulama besar yang bertanggungjawab dalam pendidikannya.Ada orang meriwayatkan bahawa Sheikh Daud al-Fathani pernah belajar di Aceh sekitar dua tahun. Dalam manuskrip nombor 486 yang tersimpan di Pusat Islam Malaysia (Kuala Lumpur) ada menyebut bahawa Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani mengambil ijazah muqaranah daripada Sheikh Muhammad Zain Aceh. Bererti tentunya Sheikh Daud al-Fathani juga belajar dengan Sheikh Muhammad Zain. Sheikh Muhammad Zain adalah penyusun kitab Bidayat al-Hidayat, Kasyf al-Kiram dan lain-lain. Nama pada kitab karya-karyanya ialah Sheikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi.

Ketika melanjutkan pelajarannya di Mekah, Sheikh Daud al-Fathani mendekati para ulama Patani yang telah bermastautin di Mekah. Di antara ulama Patani yang telah diiktiraf dan dibolehkan mengajar di Masjidil Haram ialah Sheikh Muhammad Shaleh bin Abdur Rahman al-Fathani. Beliau adalah seorang tokoh ulama Ahli Syari'at dan Haqiqat yang lebih banyak terjun ke dunia kesufian. Kepadanya Sheikh Daud al-Fathani banyak memperoleh ilmu terutamanya ilmu kesufian.

Membai’ahDalam salasilah berasal dari tulisan Sheikh Ismail bin Abdul Lathif Pontianak (lebih dikenali dengan nama Haji Ismail Jabal) yang salasilah itu sekarang ada pada salah seorang muridnya seorang ulama Pontianak bernama Haji Abdur Rani Mahmud, bahawa Sheikh Daud al-Fathani belajar kepada Sheikh Ali bin Ishaq pada bidang Tarekat Samaniyah. Akan tetapi pada bidang Thariqat Syathariyah pula adalah sebaliknya, iaitu Sheikh Daud al-Fathani telah membai'ah Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani. Jadi bererti Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani adalah murid Sheikh Daud al-Fathani, bukan guru beliau.Daripada dua sumber yang bertentangan itu, penulis berpendapat bahawa sebelum Sheikh Daud al-Fathani menjadi seorang ulama besar, mungkin saja beliau belajar kepada Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani. Riwayat yang lain pula dikatakan bahawa Sheikh Daud al-Fathani belajar langsung kepada Sheikh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani penegak/pelopor Tarekat Samaniyah.

Tentang ia belajar kepada Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Samman itu telah penulis bicarakan dalam buku penulis berjudul Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani, juga buku penulis berjudul Perkembangan Ilmu Fiqhi dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara. Berkemungkinan kerana Sheikh Daud al-Fathani yang termuda, lebih muda pula dari sahabatnya Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani, maka beliau merasa perlu mendapat didikan dan bimbingan dari yang lebih tua.

Namun Sheikh Daud al-Fathani belajar terus secara rutin sehingga ia menjadi seorang yang berkebolehan dalam banyak bidang, maka tidak mustahil sahabatnya yang jauh lebih tua daripadanya kembali belajar kepadanya. Kejadian seperti tersebut ini adalah lumrah dalam dunia pendidikan. Sheikh Daud al-Fathani memang memang belajar kepada banyak guru. Berbagai aliran mazhab dan aliran iktikad dan kepercayaan yang dipelajari.

Pegangan tetapnya tidak berganjak menurut tradisi nenek moyangnya iaitu Mazhab Syafi’e dalam Fiqh dan mengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam iktikad. Beliau tetap tidak berani mengambil jalan keluar supaya dalam Islam ini mesti melepaskan diri dari Mazhab Syafie ataupun tidak mengikat diri dari fahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah walaupun pengetahuan beliau dalam segala bidang sangat mendalam.

Pengetahuannya yang menyeluruh lengkap bukan hanya di bidang Islam sahaja, tetapi termasuk pengetahuan umum dan pengetahuan duniawinya. Ilmu kedoktoran dikuasainya juga ilmu kedoktoran walaupun beliau tidak menjadi seorang doktor. Beliau juga mendalami ilmu hisab dan ilmu falak.

Sungguhpun beliau bukan seorang ahli politik, tetapi beliau bukanlah seorang yang mudah dipengaruhi oleh ideologi politik yang menang di zamannya. Beliau tetap merupakan seorang ulama yang berideologi Islam sebagai dasar negara. Secara asasnya, tentang teori dan praktik zikir dalam Tarekat Syathariyah Sheikh Daud al-Fathani telah menerima bai’ah dari Sheikh Mursyidnya, yang diakui sebagai ulama Sufi yang 'Arif Billah iaitu Sheikh Muhammad As’ad. Salasilah mengenai Tarekat Syathariyah ini secara lengkapnya ada disebutkan di dalam naskhah tulisan tangan beliau sendiri iaitu Kaifiyat Khatam Quran.

Mengenai salasilah Tarekat Samaniyah mulai dari Sheikh Daud al-Fathani yang diikuti Sheikh Ali bin Ishaq al-Fathani, Sheikh Muhammad Saleh bin Abdur Rahman al-Fathani, Sheikh Abul Hasan dan Maulana Sheikh Hasib mungkin hidup segenerasi dan dapat menemui Sheikh Muhammad Karim Saman secara langsung. Ada pun tentang penerimaan bai’ah Tarekat boleh saja dibai’ah oleh murid yang lebih tinggi darjatnya atau lebih tua umurnya dengan syarat ada pelantikan Sheikh Mursyid sebagai khalifahnya. Salasilah lengkap Tarekat Samaniyah Sheikh Daud al-Fathani ini tertulis dalam kitab Siyarus Salikin karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani.Adapun mengenai sanad Ilmu Tauhid/Usuluddin hingga sampai kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, keterangannya adalah sebagai yang berikut.

Bahawa Sheikh Daud al-Fathani masih sempat menemui tahun-tahun kehidupan seorang ulama besar Mazhab Syafi’e yang menjadi Mahaguru di Universiti al-Azhar di Kaherah, Mesir, yang terkenal dengan sebutan Imam Syarqawi (1150 H- 1227 H). Ulama mazhab Syafie itu banyak murid-muridnya. Seorang di antaranya bernama Sheikh Muhammad bin Ali as-Syanwani yang sangat popular dengan Imam as-Syanwani saja.

Bahawa beliau adalah sezaman dengan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Tarekat SyazaliyahDari versi lain mengenai Ilmu Usuluddin ini, terkenal lagi dengan nama seorang Imam besar yang disebut Imam Abu Manshur al-Maturidi. Bahkan salasilah Sheikh Daud al-Fathani sampai kepada imam besar tersebut. Salasilah lengkap mengenai sanad Ilmu Tauhid/Usuluddin daripada kedua-dua Imam besar yang disebutkan di atas tidak disentuh, tetapi telah disebut dalam buku berjudul Sheikh Daud bin Abdullah al-Fatani: Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara.Pertalian salasilah Tarekat Syazaliyah adalah sebagai berikut iaitu Sheikh Wan Daud bin Abdullah al-Fathani belajar kepada Sheikh Muhammad Saleh bin Ibrahim, ketua Mazhab Syafi’e di Mekah (wafat pada 1226 H) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk Tarekat Syazaliyah.

Susunan salasilah lengkapnya tidak penulis senaraikan, tetapi disebut juga dalam buku berjudul Sheikh Daud bin Abdullah al-Fatani: Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara.Sebilangan besar pula pernah penulis bicarakan mengenai riwayat hidup mereka sama ada dalam artikel ini mahupun buku-buku tulisan penulis sendiri. Dalam artikel yang akan datang, penulis akan memperkenalkan serba sedikit mengenai murid-murid Sheikh Daud Al-Fathani.

Mengenali Sheikh Daud b Abdullah Al-Pattani
Nama sebenar beliau ialah Daud b Abdullah bin Idris Al-Jawi Al-Pattani Al-Melayuwi atau lebih dikenali dengan gelaran Tok Sheikh Daud Fatani. Dilahirkan di Kampung Parit Marhum sekitar tahun 1183H/1769M.

Beliau mendapat pendidikan awal di kampung kelahirannya, ketika remaja beliau mula merantau mencari ilmu. Acheh merupakan antara tempat terawal beliau menuntut ilmu. Setelah berada di sana selama 2 tahun, belaiu sempat berguru dengan tokoh-tokoh ilmuan yang tersohor dengan keilmuan mereka. Setelah itu beliau kembali semula ke kampung halamannya. Pada Usia 18 tahun belaiu berangkat ke Mekah untuk mengerjakan ibadat haji. 

Selama berada di Tanah Suci Mekah, sekitar 30 tahun beliau menuntut pelbagai ilmu di sana. Selepas itu beliau bepindah ke Madinah selama 5 tahun untuk mendalami pelbagai ilmu terutamanya ilmu agama. Setelah tamat pengaiannya beliau tidak terus kembali ke tanah airnya, tetapi membuat keputusan untuk menetap di Tanah Suci Mekah untuk menyebarkan ilmu agamanya kepada umat Islam. Masjidil Haram merupakan tempat beliau menyampaikan kuliah dan pengajarannya. Berkat usaha yang dijalankan oleh Tok Sheikh Daud, maka lahirlah murid-muridnya yang ternama, mahir dan arif dalam soal berkaitan keagamaan.

Taif merupakan tempat terakhir belaiu mencurahkan ilmunya, di sana beliau membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah rumah. Selain mengajar beliau juga sempat menghasilkan beberapa karya ilmiah yang diguna pakai sehingga hari ini. Setelah menghabiskan sisa usianya kerana berkhidmat kerana Allah, akhirnya beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di kediamannya di Taif, pada hari Khamis tanggal 22 Rejab 1263H ketika usianya menghampiri 80 tahun. Jenazahnya disemadikan berhampiran makam sahabat dan sepupu nabi s.a.w iaitu Saidina Abdullah b. Abbas r.a.

Antara Karya Beliau ialah:
1 .Kifayat al- Muhtaj (27/01/1224 H) 2. Idhah al-Bab (09/03/1224 H) 3. Ghayat al-Taqrib (05/02/1226 H) 4. Nahj al-Raghibin (122? H) 5. Bulugh al-Maram (?/03/1227 H) 6. Ghayat al_Maram (05/11/1229 H) 7. al-Durr al-Syamin (17/10/1232 H) 8. Manuskrib Tasawuf (15/09/1233 H) 9. Kashf al-Ghummah (20/03/1238 H) 10. Jam' al-Fawaid (27/05/1239 H)11. Kanz al-Minan (23/04/1240 H) 12. Minhaj al-Abidin (15/06/1240 H) 13. Munyat al-Musalli (15//12/1242 H) 14. Hidayat al-Muta'allim (12/06/1244 H) 15. Aqidah al-Jawahir (24/02/1245 H) 16. Ward al-Zawahir (09/07/1245 H) 17. Fath al-Mannan (16/09/1249 H)18. Muzakarat al-Ikhwan (25/09/1249 H) 19. al-Jawahir al-Saniyyah (16/05/1252 H) 20. Sulam Mubtadi (13/07/1252 H) 21. Furu' al-Masail (1254-1257 H) 22. al-Bahjat al-Saniyyah (16/02/1258 H) 23. al-Bahjat al-Wardyyah (01/09/1258 H) 24. al-Bahjat al-Mardhiyyah (14/10/1259 H) dan banyak lagi kitab-kitab yang tidak dapat dipastikan tarikh karangannya


Karamah SYEIKH DAUD FATANI
Syeikh Wan Daud al-Fathani Bahjatuddin al-Arif ar-Rabbani

Saya cuba membuat analisis perbandingan secara keseluruhan kegemaran pembaca dari pelbagai golongan tentang isu-isu yang pernah disentuh dalam siri ulama seperti pendidikan, politik, ekonomi, sejarah, manuskrip, bahasa, sastera, asal usul keturunan jihad dan lain-lain serta yang terakhir sekali isu karamah. Ternyata pengikut isu karamah adalah yang paling ramai menghubungi saya.

Mereka bukan menolaknya, tetapi rasa ingin tahu tentang ulama dunia Melayu yang mempunyai karamah.

Agak berat saya menulis perkara tersebut, bukan kerana kekurangan bahan, tetapi pada pandangan saya, para ulama yang masih belum begitu diketahui oleh orang ramai perlu dapat dibuktikan dengan hasil-hasil peninggalannya, seperti kitab karangan, institusi pendidikan, dan lain-lain seumpamanya.

Ada pun kisah mengenai Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani telah saya terbitkan dalam bentuk buku (Malaysia dan Indonesia) dan dalam kertas-kertas kerja yang dibentang dalam beberapa seminar.

Oleh itu sudah sampai gilirannya, kerana memenuhi permintaan pihak-pihak tertentu, minta supaya karamah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga ditempatkan dalam ruangan bicara ulama Nusantara ini.

Pada judul digunakan istilah-istilah, iaitu Bahjatuddin dan Al-Arif Ar-Rabbani. Perkataan Arab Bahjatuddin jika diterjemah ke dalam bahasa Melayu bererti Keelokan Agama, iaitu salah satu nama gelar yang diberikan orang kepada Syeikh Daud Abdullah al-Fathani yang pernah terdapat dalam sebuah kitab karangan beliau. Perkataan Al-Arif Ar-Rabbani juga diberikan oleh beberapa ulama kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani sejak zaman beliau dan gelaran itu kekal digunakan pada beberapa kitab karangan beliau hingga sekarang ini.

Menurut tradisi keilmuan Islam, khususnya ilmu tasawuf, hanya ulama-ulama yang sampai kepada peringkat Haal dan Maqam para Wali Allah saja yang layak diberikan gelar Al-Arif Ar-Rabbani atau Al-Arif Billah. Tidak ramai ulama dunia Melayu memperoleh gelaran demikian.

Di antara yang tidak ramai itu termasuk juga Al-Alim Al-Allamah Al-Arif Ar-Rabbani Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Dari julukan nama yang demikian agung, ramai orang tidak ragu-ragu tentang cerita-cerita karamah yang pernah berlaku terhadap ulama besar, Wali Allah, yang banyak menghasilkan kitab karangan, yang berasal dari Patani itu.

Rumah Kerisik
Ketika saya berumur antara empat dan lima tahun, belum bersekolah, cerita tentang karamah seorang Wali Allah yang pertama sekali saya dengar ialah Karamah Syeikh Daud al-Fathani. Sewaktu ibu saya, Hajah Wan Zainab Syeikh Ahmad al-Fathani, mengajar golongan hawa, beliau menggunakan salah sebuah kitab Syeikh Daud Abdullah al-Fathani. Beliau meriwayatkan, “Pada satu ketika sewaktu Syeikh Daud al-Fathani mengajar di rumahnya di Kerisik, Patani tiba-tiba beliau berhenti mengajar.”

Lalu digerak-gerakannya tangannya.

Lengan bajunya basah. Ada muridnya bertanya, kenapa Tok Syeikh itu berkelakuan demikian. Tok Syeikh Daud menjawab, “Aku menolong orang karam!” Sejurus kemudian orang karam itu datang menemui Tok Syeikh Daud kerana membayar nazar. Setelah orang-orang yang mengikuti pengajian kepada ibu saya tersebut pulang, saya bertanya kepada ibu saya, bagaimanakah caranya orang yang diam di atas darat boleh menolong orang karam di laut? Ibu saya menjawab, “Belajar rajin-rajin. Mengaji Quran banyak-banyak. Berdoa banyak-banyak. Nanti di kemudian hari kamu ketahui.”

Saya tidak perlu memaksa diri sendiri atau orang lain percaya atau pun menolak riwayat di atas, tetapi setelah saya membanding pelbagai perubahan zaman dapatlah saya fahami maksud perkataan ibu saya itu. Bererti beliau faham ilmu psikologi pendidikan kanak-kanak pada zaman itu (tahun 1950). Kenapa kita menolak cerita karamah para Wali Allah ? Sedangkan zaman kita sekarang cerita yang bercorak robot yang direka oleh manusia moden, seperti ultraman, doraemon, power rangers, termasuk juga pendidikan seks yang diketahui oleh kanak-kanak yang masih di bawah umur apakah kita tidak terfikirkan dampak negatifnya terhadap remaja Islam dan bangsa Melayu untuk masa-masa yang akan datang ?

Oleh itu kisah mukjizat para Nabi dan karamah para Wali Allah adalah patut diperkenalkan. Di dalamnya banyak peroleh petunjuk dan keberkatan bukannya membawa kejumudan seperti pendapat pihak-pihak tertentu yang selalu sinis dari sesuatu yang bersumberkan daripada tradisi Islam.

Kisah di atas juga saya dengar di Kerisik, Patani, tahun 1970 di rumah tempat kejadian (rumah yang dibina oleh Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani). Rumah tersebut runtuh (terpetak di atas tanah) pada 1989, kebetulan ketika kejadian itu saya berada di Patani. Saya menyaksikan sendiri, bahawa ada bahagian penting tempat sebuah peti manuskrip atau naskhah-naskhah tulisan tangan tidak mengalami kerosakan. Berhari-hari khazanah ilmu itu tidak dipedulikan orang, terbiar begitu saja sehinggalah saya datang ke tempat itu.

Saya memang mempunyai hak atas pemilikan naskhah-naskhah itu, oleh itu telah saya selamatkan dengan apa yang ada dalam koleksi saya. Dari peristiwa tersebut dan perbandingan lainnya, saya dapat mengambil iktibar bahawa keghairahan kebanyakan orang selalu berusaha memperoleh harta pusaka yang bercorak kebendaan, tetapi sangat jarang atau sedikit sekali orang yang mengutamakan khazanah ilmu yang dipusakai oleh datuk neneknya.

Setelah saya kaji peri kehidupan Syeikh Daud Abdullah al-Fathani, bahawa beliau lebih mengutamakan pusaka khazanah ilmu dari kebendaan lainnya, barangkali kerana itulah sebahagian ilmu-ilmu yang berasal dari beliau masih selamat sampai sekarang. Hasil-hasil karangan beliau masih banyak diajarkan orang di pelbagai tempat di dunia Melayu. Namanya tetap harum semerbak di sepanjang zaman.

Keberangkatan ke Mekah
Peristiwa karamah Syeikh Daud Abdullah al-Fathani sewaktu beliau akan ke Mekah yang pertama kali diriwayatkan sebagai berikut, “Tok Syeikh Daud adalah seorang suka berusaha sendiri, beliau tidak suka membebankan urusannya kepada orang lain termasuk terhadap kedua orang tuanya. Pada satu ketika, beliau ingin menunaikan haji ke Mekah sekali gus untuk belajar ke sana.”

Sejak kecil yang diusahakannya hanyalah menuntut ilmu, tidak pernah menghiraukan sesuatu pekerjaan lainnya. Walau pun beliau tahu bahawa kedua orang tuanya mampu mengirimnya ke Mekah, namun beliau tidak pernah menceritakan hasratnya itu. Sebagai seorang yang terpelajar dalam pelbagai ilmu, salah satu kaedah dalam ilmu tasawuf mempedoman bahawa hakikat pentadbiran, sama ada diri peribadi atau dari sekecil-kecil alam semesta hingga yang sebesar-besarnya adalah mutlak milik Allah s.w.t..

Tasawuf juga mengajar bahawa doa adalah senjata yang paling ampuh untuk mengatasi segala persoalan. Oleh itu Tok Syeikh Daud lebih mengutamakan berdoa daripada terlalu bersibuk-sibuk mencari wang. Kerana Tok Syeikh Daud berdoa dengan keseluruhan dirinya, diri yang zahir dan diri yang batin, tiada bahagian tubuh zahir dan batin, yang tidak ikut serta dalam munajat kepada Allah, maka doanya sentiasa dikabulkan Allah. Kabul itu pula ada kelainan daripada biasa.

Bahawa pada suatu hari Tok Syeikh Daud melihat seekor lembu menanduk busut. Tok Syeikh Daud berfikir mengapakah lembu itu berbuat demikian? Beliau munajat, mohon petunjuk kemungkinan ada rahsia yang tersembunyi pada kelakuan binatang itu.

Pada malam hari, Tok Syeikh Daud bermimpi bahawa di dalam busut itu tersimpan emas supaya beliau mengambilnya untuk belanja berangkat ke Mekah dan keperluan selama beliau belajar di sana. Emas itu pula supaya disedekahkan kepada semua orang miskin yang berada di Kerisik. Cara bersedekah pula hendaklah dengan rahsia, iaitu emas itu diletakkan di bendul pintu setiap rumah. Semua petunjuk dalam mimpi itu telah beliau kerjakan.

Sungguh ajaib, semua rumah yang diletakkan emas itu, pemiliknya bermimpi pula bahawa mereka menerima sedekah dari Tok Syeikh Daud.

Diriwayatkan, bahawa beliau seorang yang qana'ah (cukup seadanya saja), oleh itu amanah itu dilaksanakan dengan sejujur-jujurnya. Dengan demikian hidup beliau penuh berkat dan rahmat hinggalah ke akhir hayatnya.

Orang-orang yang menerima sedekah daripada Tok Syeikh Daud juga demikian adanya. (Sumber cerita diperoleh di Kerisik daripada beberapa orang tua-tua kewarisan Syeikh Daud Abdullah al-Fathani, tahun 1970).
Jin di alam manusia

Selalu kita mendengar ada orang mencari ilmu untuk menguasai jin atau pun makhluk halus. Mereka bermaksud dengan jenis ilmu yang demikian dapat mengatasi keperluan atau menyampaikan sesuatu hajat. Ini berbeza dengan para Wali Allah. Mereka tidak memerlukan ilmu seperti itu kerana mereka selalu berpegang kepada akidah yang betul. Sungguh pun begitu, ada beberapa orang ulama dunia Melayu termasuk Syeikh Daud Abdullah Al-Fathani yang pernah menjadi guru kepada jin yang beragama Islam.

Diriwayatkan: “Ada satu jin yang menyamar bersama-sama dengan jenis manusia belajar kepada Tok Syeikh Daud di Masjid al-Haram, Mekah. Jin itu menyangka bahawa Tok Syeikh Daud tidak tahu bahawa dia adalah bangsa jin. Sebenarnya Tok Syeikh Daud bukannya tidak tahu perkara itu, bagi seorang Wali Allah sesuatu rahsia yang belum diketahui oleh orang ramai beliau tidak akan menceritakannya selagi perkara itu tidak merosakkan pihak lainnya.

Pada satu malam, jin itu menjemput Tok Syeikh Daud dan gurunya yang berbangsa jin datang ke rumahnya kerana mengadakan kenduri. Semua yang hadir adalah bangsa jin dan mereka merendahkan diri kepada Tok Syeikh Daud.

Alam itu sebenarnya adalah alam jin, tetapi mereka cuba hadir kepada alam manusia. Maksud mereka bukan untuk menipu Tok Syeikh Daud tetapi mereka ingin mengambil berkat atas ketinggian martabat Wali Allah bangsa manusia itu.

Mereka menyangka bahawa Tok Syeikh Daud tidak mengetahui perkara itu, sebenarnya sebelum datang ke tempat itu beliau telah maklum bahawa jemaah yang hadir di tempat itu bukan bangsa manusia tetapi adalah jemaah jin.

Setelah selesai upacara, jin tuan rumah bersedekah kepada Tok Syeikh Daud satu bungkusan yang di dalamnya terdapat ketulan-ketulan emas dan pelbagai jenis permata yang mahal-mahal harga. Tok Syeikh Daud menolak sedekah itu dengan secara halus, dibahagi-bahagikan kepada semua bangsa jin yang hadir di tempat itu sehingga tidak ada sesuatu pun yang tinggal pada beliau.

Cerita di atas dapat menjadi pengajaran, bahawa pada zaman moden sekarang masih ada orang yang ingin mendapatkan harta kekayaan melalui jin. Tetapi berbeza dengan ulama seperti Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, beliau tidak memerlukan barangan yang bukan dari alam kita sendiri.

Tidaklah berlebihan, saya kemukakan sedikit pengalaman bahawa saya pernah menyaksikan ada orang dapat mengambil jongkong emas, keris, dan permata dari alam ghaib. Tetapi ternyata emas di alam jin tidak menjadi emas di alam kita. Emas di alam jin hanyalah tembaga apabila masuk ke alam kita.Koleksi Tulisan Allahyarham: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH~Al-

اللهم إني أسألك فهم النبيين، و حفظ المرسلين، و الملائكة المقربين،اللهم اجعل ألسنتنا عامرة بذكرك، و قلوبنا بخشيتك،و أسرارنا بطاعتك، إنك على كل شيء قدير،حسبنا الله و نعم الوكيل
والله اعلم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته